Suatu Saat Kita Akan Ke India, Sayang
kita akan berjalan-jalan ke India, sayang.
berpakaian sederhana, dengan kacamata hitam dan berkalung kamera.
berlari di antara pasar dan kuil-kuil, dimana tanganmu menggandengku erat.
Kita tidak pergi ke Taj Mahal.
kita mencari ketenangan di antara ashram, mungkin di Ladakh atau Agra.
bermeditasi dalam sunyi selama satu atau dua minggu untuk kemudian berpindah lagi.
kemudian aku sibuk menertawakanmu saat mencicip asamnya yogurt di dalam saus canai, saat kita pelesir di Kolkata.
Kemudian,
dengan bis kaleng yang panas kita menyusur jalanan berpuluh jam untuk mencapai Kashmir.
dataran tinggi dengan pucuk-pucuk gunung yang memutih karena salju,
dan padang bunga tulip yang membuatku tak bisa berkata-kata saking indahnya.
kamu tidak menghadiahi aku sekuntum bunga. cukup kamu fotokan saja dan tunjukkan padaku.
“kita tidak mengambil apapun kecuali foto, kan?” katamu dengan senyum yang paling manis.
Di antara sungai-sungai gletser yang mengalir perlahan di tengah musim panas,
kita melompat berkecipak seperti anak kecil.
sepatu-sepatu kita sudah basah oleh air, tas kita kotor oleh debu gunung, keringat sudah mengering walau beberapa hari tidak mandi, rambutmu pun sudah kusut tertiup angin.
tetapi kita tetap yang paling bahagia hari itu.
Lalu mataku berbinar bahagia ketika tahu,
ternyata kamu tidak lupa kemana aku ingin pergi sejak dulu.
masih dengan sebuah bis kaleng yang panas, kita beranjak ke Nepal.
berpuluh jam pula, jauh, melelahkan.
tapi matamu tidak akan pernah beranjak dariku, memastikan bahwa aku tertidur dengan lelap di bahumu.
Yang selama ini kucari menunggu kita di sana.
kesesakan Kathmandu yang begitu candu,
lorong-lorong sempit di antara rumah bata berjendela ukir,
kuil-kuil yang ramai didatangi pendoa dan sesajen berwarna-warni yang berbau khas,
tari-tarian sepanjang sore dari anak-anak di Durbar Square,
atau kita, sekedar menyaksikan matahari terbenam dari balkon hotel sembari menyesap secangkir susu yak.
Lalu, apalagi yang lebih indah dari Tibet, sayang.
kita berdua tahu itu, dibalik keindahannya kita mafhum tentang konflik berkepanjangan yang belum juga selesai.
tapi hari-hari itu hanya milik kita berdua, sayang.
masih selalu kubayangkan Annapurna, Namche Bazaar, dan hari-hari melelahkan menyusuri punggungan Everest,
bersamamu.
Apakah kau, yang disana, juga mungkin memikirkan petualangan yang sama?
kemudian aku sibuk menertawakanmu saat mencicip asamnya yogurt di dalam saus canai, saat kita pelesir di Kolkata.
Kemudian,
dengan bis kaleng yang panas kita menyusur jalanan berpuluh jam untuk mencapai Kashmir.
dataran tinggi dengan pucuk-pucuk gunung yang memutih karena salju,
dan padang bunga tulip yang membuatku tak bisa berkata-kata saking indahnya.
kamu tidak menghadiahi aku sekuntum bunga. cukup kamu fotokan saja dan tunjukkan padaku.
“kita tidak mengambil apapun kecuali foto, kan?” katamu dengan senyum yang paling manis.
Di antara sungai-sungai gletser yang mengalir perlahan di tengah musim panas,
kita melompat berkecipak seperti anak kecil.
sepatu-sepatu kita sudah basah oleh air, tas kita kotor oleh debu gunung, keringat sudah mengering walau beberapa hari tidak mandi, rambutmu pun sudah kusut tertiup angin.
tetapi kita tetap yang paling bahagia hari itu.
Lalu mataku berbinar bahagia ketika tahu,
ternyata kamu tidak lupa kemana aku ingin pergi sejak dulu.
masih dengan sebuah bis kaleng yang panas, kita beranjak ke Nepal.
berpuluh jam pula, jauh, melelahkan.
tapi matamu tidak akan pernah beranjak dariku, memastikan bahwa aku tertidur dengan lelap di bahumu.
Yang selama ini kucari menunggu kita di sana.
kesesakan Kathmandu yang begitu candu,
lorong-lorong sempit di antara rumah bata berjendela ukir,
kuil-kuil yang ramai didatangi pendoa dan sesajen berwarna-warni yang berbau khas,
tari-tarian sepanjang sore dari anak-anak di Durbar Square,
atau kita, sekedar menyaksikan matahari terbenam dari balkon hotel sembari menyesap secangkir susu yak.
Lalu, apalagi yang lebih indah dari Tibet, sayang.
kita berdua tahu itu, dibalik keindahannya kita mafhum tentang konflik berkepanjangan yang belum juga selesai.
tapi hari-hari itu hanya milik kita berdua, sayang.
masih selalu kubayangkan Annapurna, Namche Bazaar, dan hari-hari melelahkan menyusuri punggungan Everest,
bersamamu.
Apakah kau, yang disana, juga mungkin memikirkan petualangan yang sama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar